TURUT BERBUAT JARIMAH


BAB I 
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Salah satu tebing terjal yang masih harus didaki oleh cendekiawan Islam adalah masalah penerapan hukum pidana yang sesuai dengan Syariat Islam. Di dunia Islam Sendiri hanya segelintir negara yang menerapkan hukum Pidana Islam. Sedangkan lainnya masih menerapkan hukum peninggalan penjajah. Banyak orang yang menganggap hukum Pidana Islam tidak sesuai lagi dengan era ini. Hukum ini terlalu kejam. Kita tidak tahu apakah anggapan ini muncul dari orang yang berpendidikan(pernah mempelajari aspek-aspek dalam Hukum Pidana Islam) atau tidak. Perbuatan manusia yang dinilai sebagai pelanggaran atau kejahatan kepada sesamanya, baik pelanggaran atau kejahatan tersebut secara fisik atau non fisik, seperti membunuh, menuduh atau memfitnah maupun kejahatan terhadap harta benda dan lainnya, dibahas dalam jinayah.
Dalam mempelajari fiqih Jinayah, ada dua istilah penting yang trlebih dulu harus dipahami sebelum mempelajari materi selanjutnya. Pertama adalah istilah jinayah itu sendiri dan kedua adalah jarimah. Kedua istilah ini secara etimologis mempunyai arti dan arah yang sama. Walaupun demikian, kedua istilah berbeda dalam penerapan kesehariannya. Dengan demikian, kedua istilah tersebut harus diperhatikan dan dipahami agar penggunaanyya tidak keliru.
Pada kesempatan kali ini, Penulis sebagai penyaji makalah akan membahas segelintir kecil dari pengetahuan hukum dalam Hukum Pidana Islam yaitu tentang jarimah, dan lebih dikususkan lagi tentang Turut serta Berbuat Jariamah secara Langsung dan Tidak Langsung. Adapun poin – poin yang akan dibahas dalam pembahasan ini ialah:
1.      Pengertian turut berbuat jarimah
2.      Turut berbuat jarimah secara langsung
3.      Turut berbuat jarimah secara tidak langsung

BAB II
 PEMBAHASAN

A.      Pengertian Turut berbuat Jarimah
Tindak pidana atau suatu perbuatan jarimah adakalanya dilakukan secara perseorangan dan adakalnya dilakukan secara berkelompok. Nah, disini yang akan dibahas adalah perbuatan jarimah yang dilakukan oleh beberapa orang atau kelompok.
Turut serta melakuan jarimah ialah melakukan jarimah secara bersama- sama, baik melalui kesepakatan atau kebetulan, menghasut, menyuruh orang lain, memberi bantuan atau keluasan dengan berbagai bentuk. Dari defenisi tersebut dapat diketahui sedikitnya ada dua pelaku jarimah baik dikehendaki bersama, secara kebetulan, sama- sama melakukan jarimah tersebut atau memberi fasilitas bagi terselenggaranya suatu jarimah.[1] Turut berbuat jarimah terbagi dua yaitu turut berbuat langsung dan tidak langsung. Berikut kita pembahasannya.

B.       Turut Berbuat Jarimah Secara Langsung
Pada dasarnya turut berbuat langsung baru terdapat apabila orang-orang yang memperbuat jarimah-jarimah dengan nyata lebih dari seorang atau biasa disebut di kalangan sarjana-sarjana hukum positif dengan nama “berbilangnya pembuat asli” (madedares).
Turut berbuat langsung dapat terjadi, manakala seseorang melakukan sesuatu perbuatan yang dipandang sebagai permulaan pelaksanaan jarimah yang sudah cukup di sifati sebagai ma’siat, yang di maksuidkan untuk melaksanakan jarimah itu. Dengan istilah sekarang ialah apabila ia melakukan percobaan, baik jarimah yang di perbuatnya itu selesai atau tidak, karena selesai atau tidaknya suatu jarimah tidak mempengaruhi kedudukannya sebagai orang yang turut berbuat langsung. Pengaruhnya hanya terbatas pada besarnya hukuman, apabila jarimah yang di perbuatnya itu selesai, sedang jarimah itu hanya jarimah had, maka pembuat di jatuhi hukuman had, dan maka kalau tidak selesai di jatuhi hukuman ta’zir.
Dalam hubungannya dengan turut berbuat jarimah, para fuqaha mengenal dua macam turut berbuat langsung, yaitu al tawafuq dan al tamalu’.
Al- Tawafuq adalah beberapa orang yang melakukan suatu kejahatan secara bersama tanpa kesepakatan sebelumnya. Artinya si peserta jarimah berbuat secara kebetulan. Jadi kejahatan itu terjadi karena adanya pengaruh psikologis dan pemikiran yang datang secara tiba- tiba. Seperti kejahatan yang terjadi ketika sedang berlangsung demonstrasi, yang tanpa perencanaan sebelumnya untuk melakukan suatu kejahatan. Misalnya ketika terjadi demonstrasi itu sering dimanfaatkan orang lain yang melihatnya, diantaranya ada yang mengambil kesempatan untuk berbuat sesuatu, mencuri, merusak atau memperkosa wanita – wanita yang ketakutan.[2] Dalam kasus seperti ini, para pelaku kejahatan hanya bertanggung jawab atas perbuatan masing- masing. Karena tiap – tiap pelaku jarimah tidak saling mengenal antara satu dan lainnya.
Al- Tamalu’ adalah kejahatan yang dilakukan oleh beberapa orang secara bersama dan terencana. Misalnya pembunuhan atas seseorang oleh sekelompok orang secara terencana. Ada yang mengikatnya, memukulnya atau menembaknya. Mereka semua bertanggunh jawab atas kematian korban.[3] Dalam hal ini, para peserta bersama – sama menginginkan terjadinya suatu jarimah dan bersepakat untuk melaksanakannya. Namun dalam hal pelaksanaan jarimah masing – masing peserta melakukan fungsinya sendiri – sendiri.
Pendirian syariat islam dalam persoalan turut berbuat langsung sama dengan pendiriannya mengenai soal “jarimah percobaan”,yakni menghukum berdasarkan niatan si pembuat. Pendirian tersebut sama dengan pendirian subjektif.yang banyak di pakai pada hukum-hukum positif modern.
Yurisprudensi di indonesia pada mulanya mengambil pendirian objektif. Akan tetapi kemudian terjadi perubahan, dengan timbulnya suatu macam teori campuran (gemengde theorie) antara teori subjektif dan objektif. Teori campuran melihat kepada macamnya perbuatan yang diperbuat dan kepada perjanjian yang diadakan peserta dalam jarimah.

C.      Pengertian Turut Berbuat Jarimah Secara Tidak Langsung
Yang dimaksud turut berbuat tidak langsung ialah setiap orang yang mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk melakukan sesuatu perbuatan yang dapat dihukum, atau menyuruh orang lain atau memberikan bantuan dalam perbuatan tersebut dengan disertai kesengajaan dalam persepakatan dan menyuruh serta memberi bantuan.
Turut berbuuat jarimah yang tidak langsung adalah seperti orang yang menyuruh orang lain untuk membunuh orang ketiga. Dalam kasus ini, menurut para ulama dikalangan mazhab Maliki, Syafi’i, dan Ahmad, orang yang menyuruh itulah yang dianggap sebagai pelaku pembunuhan. Karena orang yang disuruh itu hanyalah alat yang digerakkan oleh si penyuruh. Adapun menurut Abu Hanifah, si penyuruh itu tidak dianggap sebagai pelaku langsung kecuali bila suruhnnya itu sudah sampai pada tingkat pada tingkat paksaan. Dalam kasus suruhan yang tidak sampai pada tingkat paksaan yang disuruh itu harus bertanggung jawab atas kematian korban, sedangkanyang menyuruh dikenai sanksi ta’zir.[4]
Dari keterangan tersebut kita mengetahui Unsur-unsur turut berbuat tidak langsung, yaitu :
1.        Perbuatan yang dapat dihukum (jarimah)
2.        Niatan dari orang yang turut berbuat, agar sikapnya itu perbuatan yang dimaksudkan dapat terjadi
3.        Cara mewujudkan perbuatan tersebut  yaitu mengadakan persepakatan, atau menyuruh, atau membantu.
Unsur Pertama
Perbuatan dimana kawan yang disuruh berbuat atau yang memberi perintah untuk berbuat adalah orang yang melakukan perbuatan yang dapat dijatuhi hukuman jarimah. Misalnya pembunuhan. Jadi pada jarimah percobaan, kawan berbuat tidak langsung tidak dapat langsung dihukum. Demikian pula apabila pembuat asli tidak dapat dihukum, misalnya karena masih di bawah umur, atau gila.
Unsur kedua
Dengan persepakatan atau hasutan atau bantuan, dimaksudkan oleh kawan berbuat tidak langsung untuk terjadinya sesuatu jarimah tertentu. Kalau tidak ada jarimah tertentu yang dimaksudkan, maka ia dianggap turut berbuat pada setiap jarimah yang terjadi, apabila dimungkinkan oleh niatnya. Misalnya si A memerintahkan si B untuk membunuh si C. Nah, membunuh itukan termasuk jarimah yang sebelumnya mereka telah melakukan kesepakatan dan salah seorang diantara mereka pasti ada yang membantu melakukan jarimah tersebut. Sehingga dapatlah perbuatan itu disebut perbuatan tidak langsung.
Unsur Ketiga
1.    Persepakatan
Persepakatan bisa terjadi karena adanya saling memahami dan karena kesamaan kehendak untuk berbuat jarimah. Kalau tidak ada persepakatan sebelumnya, maka tidak ada “turut berbuat” kalau sudah ada persepakatan sebelumnya, tetapi bukan atas jarimah yang terjadi dan dikerjakan bersama.
Jika seorang bersepakat dengan orang lain untuk mencuri kambing, kemudian pembuat langsung memukul pemilik kambing atau mencuri kambing bukan milik orang dituju, maka disini tidak ada persepakatan atas jarimah yang terjadi. Akan tetapi tidak adanya “turut berbuat” tidak berbarti bahwa persepakatan itu tidak dihukum, sebab persepakatan itu sendiri sudah merupakan perbuatan ma’siat.

Untuk terjadinya “turut berbuat” sesuatu jarimah harus merupakan akibat persepakatan. Jika seseorang bersepakat dengan orang kedua untuk membunuh orang ketiga, kemudian orang ketiga tersebut telah mengetahui apa yang akan diperbuat terhadap dirinya dan oleh karena itu ia pergi ke tempat orang kedua tersebut. Dan ia (orang ketiga) itu hendak membunuhnya terlebih dahulu, akan tetapi orang kedua itu dapat membunuh orang ketiga terlebih dahulu karena untuk membela diri, maka kematian orang ketiga tersebut tidak dianggap sebagai akibat persepakatan, melainkan karena akibat pembelaan diri dari orang kedua, yaitu orang yang mestinya akan melakukan pembunuhan sendiri terhadap orang ketiga.

Meskipun terhadap orang kedua tidak dijatuhi hukuman  karena pembelaan diri tersebut namun ia dapat dihukum karena persepakatan jahatnya dengan orang lain, sebab persepakatan jahat itu sendiri adalah suatu perbuatan maksiat yang dihukum baik dapat dilaksanakan atau tidak.

Dalam hal “turut berbuat” tidak langsung, Imam Malik mempunyai pendapat yang menyendiri, yaitu apabila terjadi persepakatan antara seseorang dengan orang lain, di mana yang satu menjadi pembuat yang langsung, sedang yang lain tidak berbuat tetapi menyaksikan pelaksanaan jarimah, maka orang yang menyaksikan tersebut dianggap sebagai “kawan berbuat langsung” (made dader)

2.    Menyuruh (menghasut ; tahridl)
Yang dimaksud dengan menghasut  ialah membujuk orang lain untuk berbuat jarimah, dan bujukan itu menjadi pendorong untuk diperbuatnya jarimah, walaupun tidak ada hasutan atau bujukan maka bujukan tersebut tidak dikatakan sebagai pendorongnya. Baik bujukan itu berpengaruh atau tidak terhadap adanya jarimah, namun bujukan itu sendiri adalah suatu maksiat yang bisa dijatuhi hukuman.
Kalau orang yang mengeluarkan perintah (bujukan) mempunyai kekuasaan atas orang yang diperintah, seperti orang tua terhadap anaknya atau guru terhadap muridnya, maka perintah tersebut bisa dianggap sebagai paksaan. Kalau yang diperintah itu tidak dibawah umur, tidak dungu atau gila dan yang memerintah tidak mempunyai kekuasaan atasnya, maka perintahnya itu dianggap bujukan biasa, yang boleh jadi menimbulkan jarimah atau tidak.
3.    Memberi bantuan (I’anah)
Orang yang memberi bantuan kepada orang lain dalam perbuatan jarimah dianggap sebagai kawan berbuat tidak langsung. Meskipun tidak ada persepakatan untuk itu sebelumnya, seperti mengamat-amati jalan untuk memudahkan pencurian bagi orang lain. Perbedaan antara memberi bantuan dengan pembuat asli ialah kalau pembuat asli (Mubasyir) adalah orang yang memperbuat atau mencoba memperbuat pekerjaan yang dilarang; maka memberi bantuan tidak berbuat atau mencoba berbuat melainkan hanya menolong pembuat asli dengan perbuatan-perbuatan yang tidak ada sangkut pautnya dengan perbuatan-perbuatan yang dilarang ataupun sebagai pelaksanaan terhadap perbuatan tersebut.



[1] Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam. (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2000), cet ke-1, h.55.
[2][2] Drs. H. Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam ( Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2010),  cet ke- 2,h. 56
[3]  A. Djazuli.Fiiqih Jinayah(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997), cet ke-2, h. 17.
[4] Dzajuli, Fiqih Jinayah,  h.18.

0 komentar:

METODE MEMPELAJARI TASAWUF



A.  Latar Belakang
Melihat dari situasi masyarakat kini mulai tampak gejala – gejala kehidupan negatif seperti praktik pengguguran kandungan (aborsi), pemerkosaan, pembunuhan, penyalahgunaan obat – obatan terlarang, pergaulan bebas yang mengarah pada penyimpangan seksual, penimbunan harta yang menjurus pada kesenjangan sosial dan lain sebagainya. Itu semua diakibatkan oleh kekotoran jiwa manusia, yaitu jiwa yang jauh dari bimbingan Tuhan, yang disebabkan ia tidak mau mendekatiNya.[1] Sehingga dipilihlah tasawuf sebagai jalan mengatasi problema tersebut.
Tasawuf merupakan salah satu bidang studi Islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia yang selanjutnya dapat menimbulkan akhlak mulia. Pembersihan aspek rohani atau batin ini selanjutnya dikenal sebagai dimensi esoterik dari diri manusia. Hal ini berbeda dengan aspek fikih, khususnya pada bab thaharah yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek jasmaniah atau lahiriah yang selanjutnya disebut sebagai dimensi eksoterik.[2] Salah satu ilmu yang dapat membantu terwujudnya manusia yang berkualitas adalah ilmu Tasawuf. Ilmu tersebut satu mata rantai dengan ilmu-ilmu lainnya pada sisi luar yang dhahir yang tak ubahnya jasad dan ruh yang tak dapat terpisah keduanya. Ilmu tersebut dinamakan juga ilmu bathin sebagaimana pendapat Syekh al-Manawi dalam kitab Faed al-Qadir dalam menjelaskan hadis Nabi : ‘Ilmu itu dua macam, ilmu yang ada dalam qalbu, itulah ilmu yang bermanfaat dan ilmu yang diucapkan oleh lidah adalah ilmu hujjah/hukum, atas anak cucu Adam. Dari Abi Syaebah dan Hakim dari Hasan dan dikatakan Syekh al-Manawi bahwa ilmu bathin itu keluar dari qalbu dan ilmu dhahir itu keluar dari lidah.[3]  Bahwa ilmu bathin yang keluar dari qalbu itu adalah tasawuf, yang dikerjakan dan diamalkan oleh qalbu atau hati, dan ilmu dhahir yang keluar dari lidah adalah ilmu yang diucapkan oleh lidah dan diamalkan oleh jasad yang disebut juga ilmu syari’ah. Tetapi yang pasti adalah ber-dzikir qalbu-nya dan diamalkan oleh jasadnya dan masuk sampai dalam sumsum tulang, atau dimensi dalam dan amalan cara itu pula yang disebut Tasawuf.
            Tasawuf sebagai sumsum tulang atau dimensi dalam, dari wahyu ke-Islaman, adalah upaya dalam yang luhur, dimana tauhid tercapai. Semua orang Islam yakin akan kesatuan sebagaimana terungkap di dalam syahadat.[4] Demikian pentingnya peranan tasawuf dalam kelangsungan hidup manusia seutuhnya, maka tidak mengherankan apabila tasawuf demikian akrab dengan kehidupan masyarakat Islam, setelah masyarakat tersebut membina akidah dan ibadahnya, melalui ilmu tauhid dan ilmu fikih. Dengan demikian terjadilah hubungan tiga serangkai yang amat harmonis yaitu akidah, syariah dan akhlak. Berkenaan dengan ini telah bermunculan para peneliti yang mengonsentrasikan kajiannya pada masalah tasawuf yang hasilnya telah disajikan dalam berbagai literatur baik yang berbahasa Arab, Inggris maupun lain sebagainya. Keadaan ini selanjutnya mendorong timbulnya kajian dan penelitian di bidang tasawuf.[5]
            Bab ini menjelaskan rangkaian dari Metodologi Studi Islam. Yang difokuskan pada Metode Mempelajari Tasawuf. Adapun yang menjadi titik acuan pembahasan ini diantaranya:
1.      Pengertian Tasawuf
2.      Asal- Usul Tasawuf
3.      Tujuan Mempelajari Tasawuf
4.      Metode Mempelajari Tasawuf
B. PENGERTIAN TASAWUF
            Pada awalnya, tasawuf merupakan ajaran tentang al-zuhd (juhud). Oleh karena itu, pelakunya disebut zahid (ascetic). Namun, kemudian ia berkembang dan namanya diubah menjadi tasawuf dan pelakunya disebut shufi. Zahid pertama yang termashur adalah Al-Hasan al-Basri (642-728 M.). Dia pernah berdebat dengan Washil bin Atha’dalam bidang teologi. Ajaran tasawuf Al-Hasan al-Basri yang sangat terkenal adalah al-khauf dan al-raja’. Di antara pendapatnya yang terkenal adalah bahwa “orang mukmin tidak akan bahagia sebelum berjumpa dengan Tuhan”.[6]
            Dari segi kebahasaan ( linguistik ) terdapat sejumlah kata atau istilah yang dihubungkan orang dengan tasawuf. Harun Nasution misalnya menyebutkan lima istilah yang berhubungan dengan tasawuf , yaitu al-suffah ( ahl al-suffah ) yaitu orang yang ikut pindah dengan nabi dari makkah ke madinah , saf , yaitu barisan yang dijumpai dalam melaksanakan shalat berjama’ah , sufi ysitu bersih dan suci , sophos( bahasa yunani : hikmah ) dan suf ( kain wol ).
            Dengan demikian darisegi kebahasaan tasawuf menggambarkan keadaan yang selalu berorientasi kepada kesucian jiwa, mengutamakan panggilan Allah, berpola hidup sederhana, mengutamakan kebenaran, dan rela berkorban demi tujun-tujuan yang lebih mulia di sisi Allah. Sikap demikian pada akhirnya membawa seseorang berjiwa tangguh, memiliki daya tangkal yang kuat dan efektif terhadap berbagai godaan hidup yang menyesatkan. Selain pengertian tasawuf dapat dilihat dari segi kebahasaan tasawuf juga dapat dilihat dari istilah. Dalam kaitan ini terdapat tiga sudut pandang yang digunakan para ahli untuk mendefenisikan tasawuf. Pertama, sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas; kedua, sudut pandang manusia sebagai makhluk yang harus berjuang; dan ketiga, sudut pandang manusia sebagai makhluk bertuhan. Jika ketiga defenisi tasawuf tersebut satu dan lainnya dihubungkan, segera tampak bahwa tasawuf pada intinya adalah upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan diri manusia dari pengaruh kehidupan duniawi, selalu dekat dengan Allah, sehingga jiwanya bersih dan memancarkan akhlak mulia.
            Tasawuf atau sufisme adalah salah satu dari jalan yang diletakkan Tuhan di dalam lubuk islam dalam rangka menunjukkan mungkinnya pelaksanaan kehidupan rohani bagi jutaan manusia yang sejati yang telah berabad-abad mengikuti dan terus mengikuti agama yang diajarkan Alquran.[7] Dengan menempatkan pengertian yang proporsional sebagaimana telah disebutkan di atas, tampak tasawuf tidak mengesankan keterbelakangan, kemunduran, atau semacamnya, melainkan justru memperlihatkan ketangguhan jiwa dalam menghadapi berbagai problema hidup yang senantiasa datang silih berganti.
            Dengan pendapat para ahli tasawuf tentang arti tasawuf menurut bahasa tersebut di atas, dapatlah diambil kesimpulan bahwa nama-nama dan istilah menurut bahasa adalah arti simbolik yang bermakna kebersihan dan kesucian untuk senantisa berhubungan dengan Allah. Untuk mencapai tingkat ma’rifat untuk menjadi manusia yang berkualitas lagi kamil.
            Dari sekian banyak defenisi yang ditampilkan oleh para ahli tentang tasawuf, sangat sulit mendefenisikannya secara lengkap karena masing-masing ahli mendefenisikan tasawuf hanya dapat menyentuh salah satu sudutnya saja, sebagaimana dikemukakan oleh Anne Marie Schimmel, seorang sejarahwan dan dosen tasawuf pada Harvard University sebagai contoh apa yang telah didefenisikan oleh Syekh al-Imam al-Qusyairi dalam kitabnya Risālah al-Qusyairiyyah
 ‘Orang-orang yang senantiasa mengawasi nafasnya bersamaan dengan Allah Ta’ala. Orang-orang yang senantiasa memelihara hati atau qalbunya dari berbuat lalai dan lupa kepada Allah dengan cara tersebut di atas dinamakan tasawuf.
Menurut Abu Muhammad al-Jariri yang disebutkan dalam kitab al-Risalah al-kusyairi beliau ditanya tentang tasawuf, maka ia menjawab :
 ‘Masuk dalam setiap moral yang luhur dan keluar dari setiap moral yang rendah.
Menurut Abd al-Husain al-Nur memberikan batasan dalam defenisi yang lain yaitu akhlak yang membentuk tasawuf :
 Tasawuf adalah kemerdekaan, kemurahan  tidak membebani diri serta dermawan.
            Itulah beberapa uraian tentang pengertian tasawuf menurut beberapa ahli yang paham dengan tasawuf.
C. Asal Usul Tasawuf
Dari beberapa keterangan, diketahui bahwa sesungguhnya pengenalan tasawuf sudah ada dalam kehidupan Nabi saw., sahabat, dan tabi’in. Sebutan yang populer bagi tokoh agama sebelumnya adalah zāhid, ābid, dan nāsik, namun term tasawuf baru dikenal secara luas di kawasan Islam sejak penghujung abad kedua Hijriah. Sebagai perkembangan lanjut dari ke-shaleh-an asketis (kesederhanaan) atau para zāhid yang mengelompok di serambi masjid Madinah. Dalam perjalanan kehidupan, kelompok ini lebih mengkhususkan diri untuk beribadah dan pengembangan kehidupan rohaniah dengan mengabaikan kenikmatan duniawi. Pola hidup ke-shaleh-an yang demikian merupakan awal pertumbuhan tasawuf yang kemudian berkembang dengan pesatnya. Fase ini dapat disebut sebagai fase asketisme dan merupakan fase pertama perkembangan tasawuf,[8] yang ditandai dengan munculnya individu-individu yang lebih mengejar kehidupan akhirat sehingga perhatiannya terpusat untuk beribadah dan mengabaikan keasyikan duniawi. Fase asketisme ini setidaknya sampai pada dua Hijriah dan memasuki abad tiga Hijriah sudah terlihat adanya peralihan konkrit dari asketisme Islam ke sufisme. Fase ini dapat disebut sebagai fase kedua, yang ditandai oleh antara lain peralihan sebutan zāhid menjadi sufi. Di sisi lain, pada kurun waktu ini, percakapan para zāhid sudah sampai pada persoalan apa itu jiwa yang bersih, apa itu moral dan bagaimana metode pembinaannya dan perbincangan tentang masalah teoritis lainnya.
            Tindak lanjut dari perbincangan ini, maka bermunculanlah berbagai teori tentang jenjang-jenjang yang harus ditempun oleh seorang Sufi (al-maqāmat) serta ciri-ciri yang dimiliki oleh seorang sufi pada tingkat tertentu (al-hāl). Demikian juga pada periode ini sudah mulai berkembang pembahasan tentang al-ma’rifat serta perangkat metodenya sampai pada tingkat fana’ dan ijtihad. Bersamaan dengan itu, tampil pula para penulis tasawuf, seperti al-Muhāsibi (w. 243 H), al-Kharraj (w. 277 H.), dan al-Junaid (w. 297 H.), dan penulis lainya. Fase ini ditandai dengan munculnya dan berkembangnya ilmu baru dalam khazanah budaya Islam, yakni ilmu tasawuf yang tadinya hanya berupa pengetahuan praktis atau semacam langgam keberagamaan. Selama kurun waktu itu tasawuf berkembang terus ke arah yang lebih spesifik, seperti konsep intuisi, al-kasyf, dan dzaw.
            Kepesatan perkembangan tasawuf sebagai salah satu kultur ke-Islaman, nampaknya memperoleh infus atau motivasi dari tiga faktor. Infus ini kemudian memberikan gambaran tentang tipe gerakan yang muncul.
Pertama: adalah karena corak kehidupan yang profan dan hidup kepelesiran yang diperagakan oleh ummat Islam terutama para pembesar dan para hartawan. Dari aspek ini, dorongan yang paling besar adalah sebagai reaksi dari sikap hidup yang sekuler dan gelamour dari kelompok elit dinasti penguasa di istana. Profes tersamar ini mereka lakukan dengan gaya murni etis, pendalaman kehidupan spiritual dengan motivasi etikal. Tokoh populer yang dapat mewakili aliran ini dapat ditunjuk Hasan al-Bahsri (w. 110 H) yang mempunyai pengaruh kuat dalam kesejarahan spiritual Islam, melalui doktrin al-zuhd dan khawf – al-raja’, rabi’ah al-Adawiyah (w. 185 H) dengan ajaran al-hubb atau mahabbah serta Ma’ruf al-Kharki (w. 200 H) dengan konsepsi al-syawq sebagai ajarannya.[9] Nampaknya setidaknya pada awal munculnya, gerakan ini semacam gerakan sektarian yang interoversionis, pemisahan dari trend kehidupan, eksklusif dan tegas pendirian dalam upaya penyucian diri tanpa memperdulikan alam sekitar.
Kedua: timbulnya sikap apatis sebagai reaksi maksimal kepada radikalisme kaum khawarij dan polarisasi politik yang ditimbulkannya. Kekerasan pergulakan politik pada masa itu, orang-orang yang ingin mempertahankan ke-shaleh-an dan ketenangan rohaniah, terpaksa mengambil sikap menjauhi kehidupan masyarakat ramai untuk menyepi dan sekaligus menghindarkan diri dari keterlibatan langsung dalam pertentangan politik. Sikap yang demikian itu melahirkan ajaran ‘uzlah yang dipelopori oleh Surri al-Saqathi (w. 253 H).[10] Apabila diukur dari kriteria sosiologi, nampaknya kelompok ini dapat dikategorikan sebagai gerakan “sempalan”, satu kelompok ummat yang sengaja mengambil sikap ‘uzlah kolektif yang cenderung ekslusif dan kritis tehadap penguasa.
            Dalam pandangan ini, kecenderungan memilih kehidupan rohaniah mistis, sepertinya merupakan pelarian, atau mencari konpensasi untuk menang dalam medan perjuangan duniawi. Ketika di dunia yang penuh tipu daya ini sudah kering dari siraman cinta sesama, mereka bangun dunia baru, realitas baru yang terbebas dari kekejaman dan keserakahan, dunia spiritual yang penuh dengan salju cinta.
Faktor ketiga, tampaknya adalah karena corak kodifikasi hukum Islam dan perumusan ilmu kalam yang rasional sehingga kurang bermotivasi etikal yang menyebabkan kehingan moralitasnya, menjadi semacam wahana tiada isi atau semacam bentuk tanpa jiwa. Formalitas faham keagamaan dirasakan semakin kering dan menyesakkan rūh al-dīn yang menyebabkan terputusnya komunikasi langsung suasana keakraban personal antara hamba dan penciptanya. Kondisi hukum dan teologis yang kering tanpa jiwa itu, karena dominannya posisi agama dalam agama, para zuhūdan tergugah untuk mencurahkan perhatian terhadap moralitas, sehingga memacu penggeseran seketisme ke-shaleh-an kepada tasawuf.[11] Apabila dilihat dari sisi tasawuf sebagai ilmu, maka fase ini merupakan fase ketiga yang ditandai dengan dimulainya unsur-unsur di luar Islam berakulturasi dengan tasawuf. Ciri lain yang penting pada fase ini adalah timbulnya ketegangan antara kaum orthodoks dengan kelompok sufi berfaham ittihad[12] di pihak lain.
            Akibat lanjut dari pembenturan pemikiran itu, maka sekitar akhir abad ketiga Hijriah tampil al-Karraj (w. 277 H) bersama al-Junaid (w. 297 H) menawarkan konsep-konsep tasawuf yang kompromistis antara sufisme dan orthodoksi. Tujuan gerakan ini adalah untuk menjembatani atau bila dapat untuk mengintegrasikan antara kesadaran mistik dengan syariat Islam. Jasa mereka yang paling bernilai adalah lahirnya doktrin al-baqa’ atau subsistensi sebagai imbangan dan legalitas al-fana’.hasil keseluruhan dari usaha pemaduan itu, doktrin sufi membuahkan sejumlah besar pasangan-pasangan kategori dengan tujuan memadukan kesadaran mistik dengan syari’ah sebagai suatu lembaga. Upaya tajdid itu mendapat sambutan luas dengan tampilnya penulis-penulis tasawuf tipologi ini, seperti al-Sarraj dengan al-Luma,al-Kalabasi dengan al-Ta’arruf li Mazhāhib Ahl al-Tasawuf dan al-Qusyairi dengan al-Risālah.[13]
            Sesudah masanya ketiga sufi ini, muncul jenis tasawuf yang berbeda, yaitu tasawuf yang merupakan perpaduan antara sufisme dan filsafat sebagai hasil pikir Ibnu Masarrah (w. 381 H) dengan konsepsinya ma’rifat sejati, sebagai gabungan dari sufisme dan teori emanasi Neo- Platonisme. Gagasan ini, sesudah masa al-Gazali dikembangkan oleh Suhrawardi al-Maqtūl (w. 578 H) dengan doktrin al-Isyrākiyah atau illuminasi. Gerakan orthodoksi sufisme mencapai puncaknya pada abad lima Hijriah memalui tokoh monumental al-Gazali (w. 503 H). Dengan upayanya mengikis semua ajaran tasawuf yang menurutnya tidak Islami. Sufisme hasil rekayasanya itu yang sudah merupakan corak baru, mendapat tempat yang terhormat dalam kesejahteraan pemikiran ummat Islam. Cara yang ditempuhnya untuk menyelesaikan pertikaian itu, adalah dengan penegasan bahwa ucapan ekstatik berasal dari orang arif yang sedang dalam kondisi sakr atau terkesima. Sebab dalam kenyataanya, kata al-Gazali, setelah mereka sadar mereka mengakui pula, bahwa kesatuan dengan Tuhan itu bukanlah kesatuan hakiki, tetapi kesatuan simbolistik.
            Pendekatan yang dilakukan oleh al-Gazali, nampaknya bagi satu pihak memberikan jaminan untuk mempetahankan prinsip bahwa Allah dan alam ciptaan-Nya adalah dua hal yang berbeda, sehingga satu sama lain tidak mungkin bersatu. Di pihak lain memberikan kelonggaran pula bagi para sufi untuk memasuki pengalaman-pengalaman ke-sufi-an puncak itu tanpa kekhawatiran dituduh kafir. Gambaran ini menunjukkan tasawuf sebagai ilmu telah sampai ke fase kematangannya atau memasuki fase keempat, yang ditandai dengan timbulnya dua aliran tasawuf, yaitu tasawuf sunni dan tasawuf filsafati.[14]
D. Tujuan Mempelajari Tasawuf
            Secara umum, tujuan terpenting dari sufi ialah agar berada sedekat mungkin dengan Allah. Akan tetapi apabila diperhatikan karakteristik tasawuf secara umum, terlihat adanya tiga sasaran yaitu :
  1. Tasawuf yang bertujuan untuk pembinaan aspek moral. Aspek ini meliputi mewujudkan kestabilan jiwa yang berkesinambungan, penguasaan dan pengendalian hawa nafsu sehingga manusia konsisten dan komitmen hanya kepada keluhuran moral. Tasawuf yang bertujuan moralitas ini, pada umumnya bersifat praktis.
  2. Tasawuf yang bertujuan untuk membahas bagaimana sistem pengenalan dan pendekatan diri kepada Allah secara mistis filosofis, pengkajian garis hubungan antara Tuhan dengan makhluk, terutama hubungnan manusia dengan Tuhan dan apa arti dekat dengan Tuhan. Dalam hal apa makna dekat dengan Tuhan itu, terdapat tiga simbolisme yaitu; dekat dalam arti melihat dan merasakan kehadiran Tuhan dalam hati, dekat dalam arti berjumpa dengan Tuhan sehingga terjadi dialog antara manusia dengan Tuhan dan mungkin dekat yang ketiga adalah penyatuan manusia dengan Tuhan sehingga yang terjadi adalah menolong antara manusia yang telah menyatu dalam iradat Tuhan.
Dari uraian singkat tentang tujuan sufisme ini, terlihat ada keragaman tujuan itu. Namun dapat dirumuskan bahwa, tujuan akhir dari sufisme adalah etika murni atau psikologi murni, dan atau keduanya secara bersamaan, yaitu penyerahan diri sepenuhya kepada kehendak mutlak Allah, karena Dialah penggerak utama dari sermua kejadian di alam ini dan peniadaan kesadaran terhadap “diri sendiri” serta pemusatan diri pada perenungan terhadap Tuhan semata, tiada yang dicari kecuali Dia. Ilāhi anta maksūdīy wa ridhāka mathlūbīy.
Melalui studi tasawuf ini seseorang dapat mengetahui tentang cara – cara melakukan pembersihan diri serta mengamalkannya secara benar. Dari pengetahuan ini diharapkan ia akan tampil sebagai orang yang pandai mengendalikan dirinya pada saat ia berinteraksi dengan orang lain atau pada saat melakukan berbagai aktivitas dunia yang menuntut kejujuran, keikhlasan, tanggung jawab, kepercayaan dan sebagainya. Dari suasana yang demikian itu, tasawuf diharapkan dapat mengatasi berbagai penyimpangan moral yang mengambil bentuk seperti manipulasi, korupsi, kolusi, penyalahgunaan kekuasaan dan kesempatan, penindasan, dan lain sebagainya.[15]
D. Metode Mempelajari Tasawuf
            Telah dijelaskan sebelumnya bahwa tasawuf adalah keadaan yang selalu berorientasi kepada kesucian jiwa, mengutamakan panggilan Allah, berpola hidup sederhana, mengutamakan kebenaran, dan rela berkorban demi tujun-tujuan yang lebih mulia di sisi Allah demi mendekatkan diri dengan Allah dan bahkan menyatu dengan Tuhan. Adapun untuk mempelajari tasawuf agar dapat mendekatkan diri kepada Allah maka kita harus mengetahui poin – poin berikut yaitu syariat, thoriqot, hakikat dan ma’rifat.
1.    Syariat
Bagi kaum mutasawifin sebelum memasuki lebih jauh pada inti pokok ajaran tasawuf, terlebih dahulu haruslah memahami secara mendalam masalah syariat. Karena syariat itu adalah unsur pokok dari unsur yang lainnya. Antara Thoriqot, hakikat dan ma’rifat harus selalu berhubungan erat dan saling melengkapi. Dan thriqot tanpa syariat jelas batal.[16] Sebagaimana dikemukakan oleh kaum mutasawifin yaitu:
Arti‘Sesungguhnya hakikat tanpa syariat adalah batal, dan syariat tanpa syariat adalah tiada berarti.”
Syariat disini adalah peraturan – peraturan atau garis – garis yang telah ditentukan, termasuk didalamnya hukum – hukum halal dan haram, yang diperintahkan dan yang dilarang, yang sunnah, makruh, mubah haram dan sebagainya. Syariat disini ditunjukkan sebagai landasan bagi orang sufi untuk mengerjakan amal ibadah, baik yang bersifat lahiriah dari segala hukum seperti : sholat, zakat, puasa, haji, berjihad dijalan Allah, menuntut ilmu pengetahuan dan lain sebagainya. Tegasnya, syariat itu adalah peraturan yang bersumber dari kitab suci al-Qur’an dan Hadits Nabi. Sebagaimana Firman Allah :



Artinya : Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan peraturan dan jalan terang. ( QS : Almaidah : 48 )
Dari keterangan – keterangan ini jelas dimana letak dan kedudukan syariat dalam thoriqot atau tasawuf. Karena itu agar terhindar dari hal – hal yang diinginkan maka setiap sufi hasruslah membekali diri terlebih dahulu dengan pengetahuan yang mendalam tentang syariat.

2.    Thoriqot
Thoriqot adalah suatu cara atau pendakian yang ditempuh oleh para ahli tasawuf atau kaum mutasawwifin untuk mencapai tujuan. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Syeich Zainuddin bin Ali Al Malibary : Thoriqot adalah menjalankan amal yang lebih baik, berhati – hati dan tidak memilih kemurahan ( keringanan ) Syara’ seperti sifat wara’ serta ketetapan hati yang kuat seperti latihan – latihan jiwa.
            Jika ditunjau dari segi bahasa, maka tarekat berasal dari bahasa arab yang berarti “thariq” dimana thariq memiliki arti jalan petunjuk dalam melakukan suatu ibadah dengan ajaran yang ditentukan dan dicontohkan oleh Nabi SAW serta dikerjakan oleh para sahabat dan tabi’in secara berkesinambungan sampai kepada guru mereka secara berantai.[17]
Dalam masalah Tohriqot yang berbeda beda, meskipun tujuan pokoknya sama dapatlah dikemukakan suatu contoh, misalnya mengenai masalah zikir kepada Allah. Ada Thoriqot yang mempunyai zikir – zikir tertentu dengan bersuara atau yang disebut zikrul lisan, biasanya berupa “La ilaha illallah”, ada zikrul Qolbi yang berbunyi “Allah”, dan ada juga zikrullah yang diucapkan secara rahasia yang disebut  zikrus Sirr berupa “Hu” yang artinya Dia.
Apapun jenis – jenisnya yang terpenting adalah tujuan thariqat itu sendiri yaitu agar seorang hamba dapat mengenal Allah dan selalu dekat denganNya. Menurut pandangan kaum sufi keberadaan Allah sebenarnya tidak tersembunyi melainkan manusia saja yang tidak mampu mengenalNya. Cara Allah agar Allah dikenal makhlukNya adalah dengan menciptakan semua mahkluk yang ada dialam ini. Sebagaimana disebutkan dalam hadits kudsi:
“ Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Kuciptakanlah makhluk dan melalui Aku merekapun mengenal Aku”.

3.    Hakikat
Hakikat adalah kadaan saling sampai pada tujuan yaitu ma’rifait billah dan musyahadati nurit tajalli atau terbukanya nur ( cahaya ) yang Ghoib bagi hati seseorang.
Hakikat juga berarti kebenaran sejati dan mutlak sebagai akhir dari semua perjalanan. Thoriqot dan Hakikat tak dapat dipisahkan bahkan sambung menyambung antara satu sama lain. Oleh karena itu pelaksanaan agama islam tidak sempurna, jika tidak dikerjakan dengan keempat – empatnya, yakni syari’at, thariqat, hakikat dan ma’rifat. Maka apabila syari’at merupakan peraturan, thariqat merupakan pelaksanaan, hakikat merupakan keadaan, makrifat merupakan tujuan pokok, yakni pengenalan Tuhan dengan sebenar – benarnya.[18]
 Contohnya : Bersuci, Menurut syariat bersih diri dengan air. Menurut Thoriqot bersih diri lahir bathin dari hawa nafsu. Menurut hakikat bersih hati dari selain Allah. Semua itu untuk mencapai ma’rifat kepada Allah.

4.    Ma’rifat
Ma’rifat adalah mengenal Allah baik lewat sifat – sifatNya, asma – asmaNya maupun perbuatan – perbuatanNya. Ma’rifat merupakan puncak dari tujuan thasawwuf dan dari semua ilmu yang dituntut dan satu- satunya perbuatan yang paling mulia. Sehinnga terjadi suatu peristiwa seorang shahabat Nabi SAW bertanya kepada beliau:
“ Wahai Rasulullah amalan apa yang lebih mulia?”
Rasulullah menjawab : “ Ilmu pengetahuan tentan Allah”.
Shahabat itu bertanya pula : “Apakah ilmu yang Nabi maksudkan?” jawab Nabi SAW : “Ilmu pengetahuan tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala”.
Shahabat itu rupanya menyangka Rasulullah SAW salah tangkap, ditegaskan lagi : “Wahai Rasulullah kami bertanya tentang amalan, sedang Tuan menjawab tentang ilmu” jawab Nabi SAW pula : “sesungguhnya Allah SWT dan banyak amalan tidak akan bermanfaat bila disertai dengan kejahilan (kebodohan) tentang Allah”.
            Mengapa Rasulullah SAW mengarahkan jawaban yang penekanannya pada ilmu? Sebab pengenalan akan Tuhan merupakan puncak dari semua yang dituntut dan yang akan diangan – angan oleh seseorang, dimana ma’rifat merupakan fundamen yang diatasnya didirikan segala kehidupan rohani. Dari akar ma’rifatullah, kemudian akan mempunyai cabang – cabang ma’rifat kepada Rasul, kepada Malaikat – MalaikatNya, kitab – kitabNya, termasuk ranting – rantingNya yakni mu’jizat, keramat dan kewalian. Sedang puncakNya adalah ma’rifat akan kehidupan setelah mati, dimana semua makhluk akan kembali kepada Allah SWT.
Nah itulah langkah – langkah awal untuk mendekatkan diri kepada Allah. Adapun langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah menempuh tingkatan – tingkatan dalam tasawuf itu sendiri. Sebagaimana mengetahui metode yang pernah diungkapkan oleh Sa’id Aqiel Siradj yaitu Dosen Pascasarjana IAIN Jakarta dalam seminar Metodologi Studi Islam yang diungkap dalam buku Atang abd. Hakim yang berjudul Metodologi Studi Islam mengatakan bahwa Metode tasawuf ada tiga yaitu: tahalli, takhalli, dan tajalli.[19]
1.    Takhalli
Takhalli ialah membersihkan diri dari sifat – sifat tercela, kotoran hati, ma’siat lahir dan bathin. Bagi shufi pemula pertama- tama diharuskan membersihkan diri dan melepaskan diri dari perangai yang tercela. Karena sifat – sifat tercelainilah pengganggu dan penghalang utama manusia dalam berhubungan dengan Allah.[20]
Dasar dari ajaran tasawuf tentang tahalli adalah firman Allah:



Artinya : “ Sesungguhnya berbahagialah orang yang mensucikan jiwanya dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”. (QS. As Syam : 9-10)
2.    Tahalli
Setelah membersihkan diri dari sifat – sifat tercela, maka yang harus dilakukan adalah mengisi diri dengan sifat- sifat terpuji dan menyinari hati dengan taat lahir bathin. Nah inilah yang disebut tahalli. Adapun sifat yang harus diisi adalah sifat Adil, belas ksihan, beramal shaleh, berani, berbaik sangka, berjiwa bijaksana, ikhlas dan lain sebagainya. Adapun landasan dasar dari tahalli ini adalah QS. An Nahl : 90.
3.    Tajalli
Dan yang terakhir adalah tajalli yang  merupakan saat – saat merasakan rasa Ketuhanan yang sampai mencapai kenyataan Tuhan. Untuk mencapai tajalli ini calon shufi mengadakan latihan – latihan jiwa ( riyadloh)  dengan berusaha memberihsihkan drinya dari sifat tercela, lalu mengisi dirinya dengan sifat – sifat yang terpuji, dan terus mengerjakan ibadah yang semata – mata untuk memperoleh tajalli, untuk menerima pancaran Nur Allah.


[1] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996), Cet. I, h.279.
[2] Abuddin Nata, Pengantar Study Islam, ( Jakarta: RajaGrafindo Persada,2007),h.283.
[3] Mustafa Muhammad al-Allāmah al-Manawi, Faedul Qadīr, jilid IV (Mesir: Sanabun Maktabah, 1357 H.), h. 390.
[4] Sahabuddin, Metode Mempelajari Ilmu Tasawuf, menurut Ulama Sufi (Surabaya: Media Varia Ilmu, 1996), h. 7.
[5]  Abuddin, Metodologi, h.287
[6]  Atang Abd. Hakim,  Metodologi Studi Islam  ( Cet. XIV; Bandung : PT REMAJA ROSDAKARYA, 2012), h.162.
[7]  Abuddin, Metodologi, h.289.
[8]. Rivay Siregar, Tasawuf, dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), h. 36.
[9] . Nicholson, The Mystic of Islam (London: Keqan paul Ltd., 1966), h. 4.
[10] Fazlur Rahman, Islam, (Bandung: Pustaka, 1984), h. 185.
[11]  Rivary, Tasawuf, h.  39.
[12] Ittihad yaitu beralihnya sifat kemanusiaan seseorang ke dalam sifat ke-Ilahi-an sehingga terjadi pernyataan dengan Tuhan (fana)
[13]  Flazur, Islam, h. 187.
[14]  Rivary, Tasawuf, h. 43.
[15] Abuddin, Metodologi, h.279.
[16] Moh. Syaifulloh Al Aziz Senali, Risalah Memahami Ilmu Tashawwuf ( Surabaya : Terbit Terang,1998),h.69.
[17]  Drs. Moch. Siddiq, Mengenal Ajaran Tarekat dalam Aliran Tasawuf (Surabaya: Putra Pelajar, 2001),h. 67.
[18] Syaifulloh, Risalah, h.81.
[19] Atang, Metodologi, h.163
[20]  Syaifulloh, Risalah, h.87.

0 komentar: