A. Latar Belakang
Melihat dari situasi masyarakat kini
mulai tampak gejala – gejala kehidupan negatif seperti praktik pengguguran
kandungan (aborsi), pemerkosaan, pembunuhan, penyalahgunaan obat – obatan
terlarang, pergaulan bebas yang mengarah pada penyimpangan seksual, penimbunan
harta yang menjurus pada kesenjangan sosial dan lain sebagainya. Itu semua
diakibatkan oleh kekotoran jiwa manusia, yaitu jiwa yang jauh dari bimbingan
Tuhan, yang disebabkan ia tidak mau mendekatiNya.
Sehingga dipilihlah tasawuf sebagai jalan mengatasi problema tersebut.
Tasawuf merupakan salah satu bidang
studi Islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia
yang selanjutnya dapat menimbulkan akhlak mulia. Pembersihan aspek rohani atau
batin ini selanjutnya dikenal sebagai dimensi esoterik dari diri manusia. Hal
ini berbeda dengan aspek fikih, khususnya pada bab thaharah yang memusatkan
perhatian pada pembersihan aspek jasmaniah atau lahiriah yang selanjutnya
disebut sebagai dimensi eksoterik. Salah satu
ilmu yang dapat membantu terwujudnya manusia yang berkualitas adalah ilmu Tasawuf. Ilmu tersebut satu mata rantai
dengan ilmu-ilmu lainnya pada sisi luar yang dhahir yang tak ubahnya jasad
dan ruh yang tak dapat
terpisah keduanya. Ilmu tersebut dinamakan juga ilmu bathin sebagaimana pendapat Syekh al-Manawi dalam kitab Faed al-Qadir dalam
menjelaskan hadis Nabi : ‘Ilmu itu dua macam, ilmu yang ada dalam qalbu, itulah ilmu yang bermanfaat
dan ilmu yang diucapkan oleh lidah adalah ilmu hujjah/hukum, atas anak cucu Adam. Dari Abi Syaebah dan Hakim
dari Hasan dan dikatakan Syekh al-Manawi bahwa ilmu bathin itu keluar dari qalbu dan ilmu dhahir itu keluar dari lidah.
Bahwa
ilmu bathin yang keluar dari qalbu itu adalah tasawuf, yang dikerjakan dan
diamalkan oleh qalbu atau hati,
dan ilmu dhahir yang keluar
dari lidah adalah ilmu yang diucapkan oleh lidah dan diamalkan oleh jasad yang disebut juga ilmu syari’ah. Tetapi
yang pasti adalah ber-dzikir qalbu-nya dan diamalkan oleh jasadnya
dan masuk sampai dalam sumsum tulang, atau dimensi dalam dan amalan cara itu
pula yang disebut Tasawuf.
Tasawuf sebagai sumsum tulang atau dimensi dalam, dari wahyu ke-Islaman, adalah
upaya dalam yang luhur, dimana tauhid
tercapai. Semua orang Islam yakin akan kesatuan sebagaimana terungkap di dalam syahadat.
Demikian
pentingnya peranan tasawuf dalam kelangsungan hidup manusia seutuhnya, maka
tidak mengherankan apabila tasawuf demikian akrab dengan kehidupan masyarakat
Islam, setelah masyarakat tersebut membina akidah dan ibadahnya, melalui ilmu
tauhid dan ilmu fikih. Dengan demikian terjadilah hubungan tiga serangkai yang
amat harmonis yaitu akidah, syariah dan akhlak. Berkenaan dengan ini telah
bermunculan para peneliti yang mengonsentrasikan kajiannya pada masalah tasawuf
yang hasilnya telah disajikan dalam berbagai literatur baik yang berbahasa
Arab, Inggris maupun lain sebagainya. Keadaan ini selanjutnya mendorong
timbulnya kajian dan penelitian di bidang tasawuf.
Bab ini menjelaskan rangkaian dari
Metodologi Studi Islam. Yang difokuskan pada Metode Mempelajari Tasawuf. Adapun
yang menjadi titik acuan pembahasan ini diantaranya:
1. Pengertian
Tasawuf
2. Asal-
Usul Tasawuf
3. Tujuan
Mempelajari Tasawuf
4. Metode
Mempelajari Tasawuf
B. PENGERTIAN TASAWUF
Pada awalnya, tasawuf merupakan
ajaran tentang al-zuhd (juhud). Oleh karena itu, pelakunya disebut zahid
(ascetic). Namun, kemudian ia berkembang dan namanya diubah menjadi tasawuf dan
pelakunya disebut shufi. Zahid pertama yang termashur adalah Al-Hasan al-Basri
(642-728 M.). Dia pernah berdebat dengan Washil bin Atha’dalam bidang teologi.
Ajaran tasawuf Al-Hasan al-Basri yang sangat terkenal adalah al-khauf dan
al-raja’. Di antara pendapatnya yang terkenal adalah bahwa “orang mukmin tidak
akan bahagia sebelum berjumpa dengan Tuhan”.
Dari segi kebahasaan ( linguistik )
terdapat sejumlah kata atau istilah yang dihubungkan orang dengan tasawuf.
Harun Nasution misalnya menyebutkan lima istilah yang berhubungan dengan
tasawuf , yaitu al-suffah ( ahl al-suffah ) yaitu orang yang ikut pindah dengan
nabi dari makkah ke madinah , saf , yaitu barisan yang dijumpai dalam
melaksanakan shalat berjama’ah , sufi ysitu bersih dan suci , sophos( bahasa
yunani : hikmah ) dan suf ( kain wol ).
Dengan demikian darisegi kebahasaan
tasawuf menggambarkan keadaan yang selalu berorientasi kepada kesucian jiwa,
mengutamakan panggilan Allah, berpola hidup sederhana, mengutamakan kebenaran,
dan rela berkorban demi tujun-tujuan yang lebih mulia di sisi Allah. Sikap
demikian pada akhirnya membawa seseorang berjiwa tangguh, memiliki daya tangkal
yang kuat dan efektif terhadap berbagai godaan hidup yang menyesatkan. Selain
pengertian tasawuf dapat dilihat dari segi kebahasaan tasawuf juga dapat
dilihat dari istilah. Dalam kaitan ini terdapat tiga sudut pandang yang
digunakan para ahli untuk mendefenisikan tasawuf. Pertama, sudut pandang
manusia sebagai makhluk terbatas; kedua, sudut pandang manusia sebagai makhluk
yang harus berjuang; dan ketiga, sudut pandang manusia sebagai makhluk
bertuhan. Jika ketiga defenisi tasawuf tersebut satu dan lainnya dihubungkan,
segera tampak bahwa tasawuf pada intinya adalah upaya melatih jiwa dengan
berbagai kegiatan yang dapat membebaskan diri manusia dari pengaruh kehidupan
duniawi, selalu dekat dengan Allah, sehingga jiwanya bersih dan memancarkan
akhlak mulia.
Tasawuf atau sufisme adalah salah
satu dari jalan yang diletakkan Tuhan di dalam lubuk islam dalam rangka
menunjukkan mungkinnya pelaksanaan kehidupan rohani bagi jutaan manusia yang
sejati yang telah berabad-abad mengikuti dan terus mengikuti agama yang
diajarkan Alquran.
Dengan menempatkan pengertian yang proporsional sebagaimana telah disebutkan di
atas, tampak tasawuf tidak mengesankan keterbelakangan, kemunduran, atau
semacamnya, melainkan justru memperlihatkan ketangguhan jiwa dalam menghadapi
berbagai problema hidup yang senantiasa datang silih berganti.
Dengan pendapat para ahli tasawuf tentang arti tasawuf menurut bahasa tersebut di
atas, dapatlah diambil kesimpulan bahwa nama-nama dan istilah menurut bahasa
adalah arti simbolik yang bermakna kebersihan dan kesucian untuk senantisa
berhubungan dengan Allah. Untuk mencapai tingkat ma’rifat untuk menjadi manusia yang berkualitas lagi kamil.
Dari sekian banyak defenisi yang ditampilkan oleh para ahli tentang tasawuf, sangat sulit
mendefenisikannya secara lengkap karena masing-masing ahli mendefenisikan tasawuf
hanya dapat menyentuh salah satu sudutnya saja, sebagaimana dikemukakan oleh
Anne Marie Schimmel, seorang sejarahwan dan dosen tasawuf pada Harvard
University sebagai contoh apa yang telah didefenisikan oleh Syekh al-Imam
al-Qusyairi dalam kitabnya Risālah al-Qusyairiyyah
‘Orang-orang yang senantiasa mengawasi
nafasnya bersamaan dengan Allah Ta’ala. Orang-orang yang senantiasa memelihara
hati atau qalbunya dari berbuat lalai dan lupa kepada Allah dengan cara
tersebut di atas dinamakan tasawuf.
Menurut Abu
Muhammad al-Jariri yang disebutkan dalam kitab al-Risalah al-kusyairi
beliau ditanya tentang tasawuf, maka ia menjawab :
‘Masuk dalam setiap moral yang luhur dan
keluar dari setiap moral yang rendah.
Menurut Abd
al-Husain al-Nur memberikan batasan dalam defenisi yang lain yaitu akhlak yang
membentuk tasawuf :
‘Tasawuf adalah kemerdekaan,
kemurahan tidak membebani diri serta dermawan.
Itulah beberapa uraian tentang
pengertian tasawuf menurut beberapa ahli yang paham dengan tasawuf.
C. Asal Usul Tasawuf
Dari beberapa keterangan, diketahui bahwa sesungguhnya
pengenalan tasawuf sudah ada dalam kehidupan Nabi saw., sahabat, dan
tabi’in. Sebutan yang populer bagi tokoh agama sebelumnya adalah zāhid, ābid,
dan nāsik, namun term tasawuf baru dikenal secara luas di
kawasan Islam sejak penghujung abad kedua Hijriah. Sebagai perkembangan lanjut
dari ke-shaleh-an asketis (kesederhanaan) atau para zāhid
yang mengelompok di serambi masjid Madinah. Dalam perjalanan kehidupan,
kelompok ini lebih mengkhususkan diri untuk beribadah dan pengembangan
kehidupan rohaniah dengan mengabaikan kenikmatan duniawi. Pola hidup ke-shaleh-an
yang demikian merupakan awal pertumbuhan tasawuf yang kemudian
berkembang dengan pesatnya. Fase ini dapat disebut sebagai fase asketisme
dan merupakan fase pertama perkembangan tasawuf,
yang ditandai dengan munculnya individu-individu yang lebih mengejar kehidupan
akhirat sehingga perhatiannya terpusat untuk beribadah dan mengabaikan
keasyikan duniawi. Fase asketisme ini setidaknya sampai pada dua Hijriah
dan memasuki abad tiga Hijriah sudah terlihat adanya peralihan konkrit dari asketisme
Islam ke sufisme. Fase ini dapat disebut sebagai fase kedua, yang
ditandai oleh antara lain peralihan sebutan zāhid menjadi sufi.
Di sisi lain, pada kurun waktu ini, percakapan para zāhid sudah sampai
pada persoalan apa itu jiwa yang bersih, apa itu moral dan bagaimana metode
pembinaannya dan perbincangan tentang masalah teoritis lainnya.
Tindak lanjut dari perbincangan ini, maka bermunculanlah berbagai teori tentang
jenjang-jenjang yang harus ditempun oleh seorang Sufi (al-maqāmat)
serta ciri-ciri yang dimiliki oleh seorang sufi pada tingkat tertentu (al-hāl).
Demikian juga pada periode ini sudah mulai berkembang pembahasan tentang al-ma’rifat
serta perangkat metodenya sampai pada tingkat fana’ dan ijtihad.
Bersamaan dengan itu, tampil pula para penulis tasawuf, seperti
al-Muhāsibi (w. 243 H), al-Kharraj (w. 277 H.), dan al-Junaid (w. 297 H.), dan
penulis lainya. Fase ini ditandai dengan munculnya dan berkembangnya ilmu baru
dalam khazanah budaya Islam, yakni ilmu tasawuf yang tadinya hanya
berupa pengetahuan praktis atau semacam langgam keberagamaan. Selama kurun
waktu itu tasawuf berkembang terus ke arah yang lebih spesifik, seperti
konsep intuisi, al-kasyf, dan dzaw.
Kepesatan perkembangan tasawuf sebagai salah satu kultur ke-Islaman,
nampaknya memperoleh infus atau motivasi dari tiga faktor. Infus
ini kemudian memberikan gambaran tentang tipe gerakan yang muncul.
Pertama:
adalah karena corak kehidupan yang profan dan hidup kepelesiran yang
diperagakan oleh ummat Islam terutama para pembesar dan para hartawan. Dari
aspek ini, dorongan yang paling besar adalah sebagai reaksi dari sikap hidup
yang sekuler dan gelamour dari kelompok elit dinasti penguasa di istana. Profes
tersamar ini mereka lakukan dengan gaya murni etis, pendalaman kehidupan
spiritual dengan motivasi etikal. Tokoh populer yang dapat mewakili aliran ini
dapat ditunjuk Hasan al-Bahsri (w. 110 H) yang mempunyai pengaruh kuat dalam
kesejarahan spiritual Islam, melalui doktrin al-zuhd dan khawf –
al-raja’, rabi’ah al-Adawiyah (w. 185 H) dengan ajaran al-hubb atau mahabbah
serta Ma’ruf al-Kharki (w. 200 H) dengan konsepsi al-syawq sebagai
ajarannya.
Nampaknya setidaknya pada awal munculnya, gerakan ini semacam gerakan sektarian
yang interoversionis, pemisahan dari trend kehidupan, eksklusif
dan tegas pendirian dalam upaya penyucian diri tanpa memperdulikan alam
sekitar.
Kedua:
timbulnya sikap apatis sebagai reaksi maksimal kepada radikalisme kaum khawarij
dan polarisasi politik yang ditimbulkannya. Kekerasan pergulakan politik pada
masa itu, orang-orang yang ingin mempertahankan ke-shaleh-an dan
ketenangan rohaniah, terpaksa mengambil sikap menjauhi kehidupan masyarakat
ramai untuk menyepi dan sekaligus menghindarkan diri dari keterlibatan langsung
dalam pertentangan politik. Sikap yang demikian itu melahirkan ajaran ‘uzlah
yang dipelopori oleh Surri al-Saqathi (w. 253 H).
Apabila diukur dari kriteria sosiologi, nampaknya kelompok ini dapat
dikategorikan sebagai gerakan “sempalan”, satu kelompok ummat yang sengaja
mengambil sikap ‘uzlah kolektif yang cenderung ekslusif dan kritis
tehadap penguasa.
Dalam pandangan ini, kecenderungan memilih kehidupan rohaniah mistis,
sepertinya merupakan pelarian, atau mencari konpensasi untuk menang dalam medan
perjuangan duniawi. Ketika di dunia yang penuh tipu daya ini sudah kering dari
siraman cinta sesama, mereka bangun dunia baru, realitas baru yang terbebas
dari kekejaman dan keserakahan, dunia spiritual yang penuh dengan salju cinta.
Faktor
ketiga, tampaknya adalah karena corak kodifikasi hukum Islam dan perumusan ilmu
kalam yang rasional sehingga kurang bermotivasi etikal yang menyebabkan
kehingan moralitasnya, menjadi semacam wahana tiada isi atau semacam bentuk
tanpa jiwa. Formalitas faham keagamaan dirasakan semakin kering dan menyesakkan
rūh al-dīn yang menyebabkan terputusnya komunikasi langsung suasana
keakraban personal antara hamba dan penciptanya. Kondisi hukum dan teologis
yang kering tanpa jiwa itu, karena dominannya posisi agama dalam agama, para zuhūdan
tergugah untuk mencurahkan perhatian terhadap moralitas, sehingga memacu
penggeseran seketisme ke-shaleh-an kepada tasawuf.
Apabila dilihat dari sisi tasawuf sebagai ilmu, maka fase ini merupakan
fase ketiga yang ditandai dengan dimulainya unsur-unsur di luar Islam
berakulturasi dengan tasawuf. Ciri lain yang penting pada fase ini
adalah timbulnya ketegangan antara kaum orthodoks dengan kelompok sufi
berfaham ittihad
di pihak lain.
Akibat lanjut dari pembenturan pemikiran itu, maka sekitar akhir abad ketiga
Hijriah tampil al-Karraj (w. 277 H) bersama al-Junaid (w. 297 H) menawarkan
konsep-konsep tasawuf yang kompromistis antara sufisme dan orthodoksi.
Tujuan gerakan ini adalah untuk menjembatani atau bila dapat untuk
mengintegrasikan antara kesadaran mistik dengan syariat Islam. Jasa mereka yang
paling bernilai adalah lahirnya doktrin al-baqa’ atau subsistensi
sebagai imbangan dan legalitas al-fana’.hasil keseluruhan dari usaha
pemaduan itu, doktrin sufi membuahkan sejumlah besar pasangan-pasangan
kategori dengan tujuan memadukan kesadaran mistik dengan syari’ah
sebagai suatu lembaga. Upaya tajdid itu mendapat sambutan luas dengan
tampilnya penulis-penulis tasawuf tipologi ini, seperti al-Sarraj dengan
al-Luma,al-Kalabasi dengan al-Ta’arruf li Mazhāhib Ahl al-Tasawuf
dan al-Qusyairi dengan al-Risālah.
Sesudah masanya ketiga sufi ini, muncul jenis tasawuf yang
berbeda, yaitu tasawuf yang merupakan perpaduan antara sufisme
dan filsafat sebagai hasil pikir Ibnu Masarrah (w. 381 H) dengan konsepsinya ma’rifat
sejati, sebagai gabungan dari sufisme dan teori emanasi Neo-
Platonisme. Gagasan ini, sesudah masa al-Gazali dikembangkan oleh
Suhrawardi al-Maqtūl (w. 578 H) dengan doktrin al-Isyrākiyah atau illuminasi.
Gerakan orthodoksi sufisme mencapai puncaknya pada abad lima Hijriah
memalui tokoh monumental al-Gazali (w. 503 H). Dengan upayanya mengikis semua
ajaran tasawuf yang menurutnya tidak Islami. Sufisme hasil
rekayasanya itu yang sudah merupakan corak baru, mendapat tempat yang terhormat
dalam kesejahteraan pemikiran ummat Islam. Cara yang ditempuhnya untuk
menyelesaikan pertikaian itu, adalah dengan penegasan bahwa ucapan ekstatik
berasal dari orang arif yang sedang dalam kondisi sakr atau terkesima.
Sebab dalam kenyataanya, kata al-Gazali, setelah mereka sadar mereka mengakui
pula, bahwa kesatuan dengan Tuhan itu bukanlah kesatuan hakiki, tetapi
kesatuan simbolistik.
Pendekatan yang dilakukan oleh al-Gazali, nampaknya bagi satu pihak memberikan
jaminan untuk mempetahankan prinsip bahwa Allah dan alam ciptaan-Nya adalah dua
hal yang berbeda, sehingga satu sama lain tidak mungkin bersatu. Di pihak lain
memberikan kelonggaran pula bagi para sufi untuk memasuki
pengalaman-pengalaman ke-sufi-an puncak itu tanpa kekhawatiran dituduh
kafir. Gambaran ini menunjukkan tasawuf sebagai ilmu telah sampai ke
fase kematangannya atau memasuki fase keempat, yang ditandai dengan timbulnya
dua aliran tasawuf, yaitu tasawuf sunni dan tasawuf
filsafati.
D. Tujuan
Mempelajari Tasawuf
Secara umum, tujuan terpenting dari sufi
ialah agar berada sedekat mungkin dengan Allah. Akan tetapi apabila
diperhatikan karakteristik tasawuf secara umum, terlihat adanya tiga
sasaran yaitu :
- Tasawuf yang bertujuan untuk pembinaan
aspek moral. Aspek ini meliputi mewujudkan kestabilan jiwa yang
berkesinambungan, penguasaan dan pengendalian hawa nafsu sehingga manusia
konsisten dan komitmen hanya kepada keluhuran moral. Tasawuf yang
bertujuan moralitas ini, pada umumnya bersifat praktis.
- Tasawuf yang bertujuan untuk membahas
bagaimana sistem pengenalan dan pendekatan diri kepada Allah secara mistis
filosofis, pengkajian garis hubungan antara Tuhan dengan makhluk, terutama
hubungnan manusia dengan Tuhan dan apa arti dekat dengan Tuhan. Dalam hal
apa makna dekat dengan Tuhan itu, terdapat tiga simbolisme yaitu; dekat
dalam arti melihat dan merasakan kehadiran Tuhan dalam hati, dekat dalam
arti berjumpa dengan Tuhan sehingga terjadi dialog antara manusia dengan
Tuhan dan mungkin dekat yang ketiga adalah penyatuan manusia dengan Tuhan
sehingga yang terjadi adalah menolong antara manusia yang telah menyatu
dalam iradat Tuhan.
Dari uraian
singkat tentang tujuan sufisme ini, terlihat ada keragaman tujuan itu.
Namun dapat dirumuskan bahwa, tujuan akhir dari sufisme adalah etika
murni atau psikologi murni, dan atau keduanya secara bersamaan, yaitu
penyerahan diri sepenuhya kepada kehendak mutlak Allah, karena Dialah penggerak
utama dari sermua kejadian di alam ini dan peniadaan kesadaran terhadap “diri
sendiri” serta pemusatan diri pada perenungan terhadap Tuhan semata, tiada yang
dicari kecuali Dia. Ilāhi anta maksūdīy wa ridhāka mathlūbīy.
Melalui studi tasawuf ini seseorang dapat mengetahui tentang cara –
cara melakukan pembersihan diri serta mengamalkannya secara benar. Dari
pengetahuan ini diharapkan ia akan tampil sebagai orang yang pandai
mengendalikan dirinya pada saat ia berinteraksi dengan orang lain atau pada
saat melakukan berbagai aktivitas dunia yang menuntut kejujuran, keikhlasan,
tanggung jawab, kepercayaan dan sebagainya. Dari suasana yang demikian itu,
tasawuf diharapkan dapat mengatasi berbagai penyimpangan moral yang mengambil
bentuk seperti manipulasi, korupsi, kolusi, penyalahgunaan kekuasaan dan
kesempatan, penindasan, dan lain sebagainya.
D. Metode
Mempelajari Tasawuf
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa tasawuf
adalah keadaan yang selalu berorientasi kepada kesucian jiwa, mengutamakan
panggilan Allah, berpola hidup sederhana, mengutamakan kebenaran, dan rela
berkorban demi tujun-tujuan yang lebih mulia di sisi Allah demi mendekatkan
diri dengan Allah dan bahkan menyatu dengan Tuhan. Adapun untuk mempelajari tasawuf
agar dapat mendekatkan diri kepada Allah maka kita harus mengetahui poin – poin
berikut yaitu syariat, thoriqot, hakikat dan ma’rifat.
1. Syariat
Bagi kaum mutasawifin sebelum
memasuki lebih jauh pada inti pokok ajaran tasawuf, terlebih dahulu haruslah
memahami secara mendalam masalah syariat. Karena syariat itu adalah unsur pokok
dari unsur yang lainnya. Antara Thoriqot, hakikat dan ma’rifat harus selalu
berhubungan erat dan saling melengkapi. Dan thriqot tanpa syariat jelas batal. Sebagaimana
dikemukakan oleh kaum mutasawifin yaitu:
Arti‘Sesungguhnya hakikat tanpa syariat adalah batal,
dan syariat tanpa syariat adalah tiada berarti.”
Syariat disini adalah peraturan –
peraturan atau garis – garis yang telah ditentukan, termasuk didalamnya hukum –
hukum halal dan haram, yang diperintahkan dan yang dilarang, yang sunnah,
makruh, mubah haram dan sebagainya. Syariat disini ditunjukkan sebagai landasan
bagi orang sufi untuk mengerjakan amal ibadah, baik yang bersifat lahiriah dari
segala hukum seperti : sholat, zakat, puasa, haji, berjihad dijalan Allah,
menuntut ilmu pengetahuan dan lain sebagainya. Tegasnya, syariat itu adalah
peraturan yang bersumber dari kitab suci al-Qur’an dan Hadits Nabi. Sebagaimana
Firman Allah :
Artinya : Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami
berikan peraturan dan jalan terang. ( QS : Almaidah : 48 )
Dari keterangan – keterangan ini
jelas dimana letak dan kedudukan syariat dalam thoriqot atau tasawuf. Karena
itu agar terhindar dari hal – hal yang diinginkan maka setiap sufi hasruslah
membekali diri terlebih dahulu dengan pengetahuan yang mendalam tentang syariat.
2. Thoriqot
Thoriqot adalah suatu cara atau
pendakian yang ditempuh oleh para ahli tasawuf atau kaum mutasawwifin untuk
mencapai tujuan. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Syeich Zainuddin bin Ali Al
Malibary : Thoriqot adalah menjalankan amal yang lebih baik, berhati – hati dan
tidak memilih kemurahan ( keringanan ) Syara’ seperti sifat wara’ serta
ketetapan hati yang kuat seperti latihan – latihan jiwa.
Jika
ditunjau dari segi bahasa, maka tarekat berasal dari bahasa arab yang berarti
“thariq” dimana thariq memiliki arti jalan petunjuk dalam melakukan suatu
ibadah dengan ajaran yang ditentukan dan dicontohkan oleh Nabi SAW serta
dikerjakan oleh para sahabat dan tabi’in secara berkesinambungan sampai kepada
guru mereka secara berantai.
Dalam masalah Tohriqot yang berbeda
beda, meskipun tujuan pokoknya sama dapatlah dikemukakan suatu contoh, misalnya
mengenai masalah zikir kepada Allah. Ada Thoriqot yang mempunyai zikir – zikir
tertentu dengan bersuara atau yang disebut zikrul lisan, biasanya berupa “La ilaha
illallah”, ada zikrul Qolbi yang berbunyi “Allah”, dan ada juga zikrullah yang
diucapkan secara rahasia yang disebut zikrus
Sirr berupa “Hu” yang artinya Dia.
Apapun jenis – jenisnya yang
terpenting adalah tujuan thariqat itu sendiri yaitu agar seorang hamba dapat
mengenal Allah dan selalu dekat denganNya. Menurut pandangan kaum sufi
keberadaan Allah sebenarnya tidak tersembunyi melainkan manusia saja yang tidak
mampu mengenalNya. Cara Allah agar Allah dikenal makhlukNya adalah dengan
menciptakan semua mahkluk yang ada dialam ini. Sebagaimana disebutkan dalam
hadits kudsi:
“
Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Kuciptakanlah makhluk
dan melalui Aku merekapun mengenal Aku”.
3. Hakikat
Hakikat adalah kadaan saling sampai
pada tujuan yaitu ma’rifait billah dan musyahadati nurit tajalli atau
terbukanya nur ( cahaya ) yang Ghoib bagi hati seseorang.
Hakikat juga berarti kebenaran
sejati dan mutlak sebagai akhir dari semua perjalanan. Thoriqot dan Hakikat tak
dapat dipisahkan bahkan sambung menyambung antara satu sama lain. Oleh karena
itu pelaksanaan agama islam tidak sempurna, jika tidak dikerjakan dengan
keempat – empatnya, yakni syari’at, thariqat, hakikat dan ma’rifat. Maka
apabila syari’at merupakan peraturan, thariqat merupakan pelaksanaan, hakikat
merupakan keadaan, makrifat merupakan tujuan pokok, yakni pengenalan Tuhan
dengan sebenar – benarnya.
Contohnya : Bersuci, Menurut syariat bersih
diri dengan air. Menurut Thoriqot bersih diri lahir bathin dari hawa nafsu.
Menurut hakikat bersih hati dari selain Allah. Semua itu untuk mencapai
ma’rifat kepada Allah.
4. Ma’rifat
Ma’rifat adalah mengenal Allah baik
lewat sifat – sifatNya, asma – asmaNya maupun perbuatan – perbuatanNya.
Ma’rifat merupakan puncak dari tujuan thasawwuf dan dari semua ilmu yang
dituntut dan satu- satunya perbuatan yang paling mulia. Sehinnga terjadi suatu
peristiwa seorang shahabat Nabi SAW bertanya kepada beliau:
“ Wahai Rasulullah amalan apa yang lebih mulia?”
Rasulullah menjawab : “ Ilmu pengetahuan tentan
Allah”.
Shahabat itu bertanya pula : “Apakah ilmu yang Nabi
maksudkan?” jawab Nabi SAW : “Ilmu pengetahuan tentang Allah Subhanahu wa
Ta’ala”.
Shahabat
itu rupanya menyangka Rasulullah SAW salah tangkap, ditegaskan lagi : “Wahai
Rasulullah kami bertanya tentang amalan, sedang Tuan menjawab tentang ilmu”
jawab Nabi SAW pula : “sesungguhnya Allah SWT dan banyak amalan tidak akan
bermanfaat bila disertai dengan kejahilan (kebodohan) tentang Allah”.
Mengapa Rasulullah SAW mengarahkan
jawaban yang penekanannya pada ilmu? Sebab pengenalan akan Tuhan merupakan
puncak dari semua yang dituntut dan yang akan diangan – angan oleh seseorang,
dimana ma’rifat merupakan fundamen yang diatasnya didirikan segala kehidupan
rohani. Dari akar ma’rifatullah, kemudian akan mempunyai cabang – cabang
ma’rifat kepada Rasul, kepada Malaikat – MalaikatNya, kitab – kitabNya,
termasuk ranting – rantingNya yakni mu’jizat, keramat dan kewalian. Sedang
puncakNya adalah ma’rifat akan kehidupan setelah mati, dimana semua makhluk
akan kembali kepada Allah SWT.
Nah itulah langkah – langkah awal untuk
mendekatkan diri kepada Allah. Adapun langkah selanjutnya yang harus dilakukan
adalah menempuh tingkatan – tingkatan dalam tasawuf itu sendiri. Sebagaimana
mengetahui metode yang pernah diungkapkan oleh Sa’id Aqiel Siradj yaitu Dosen
Pascasarjana IAIN Jakarta dalam seminar Metodologi Studi Islam yang diungkap
dalam buku Atang abd. Hakim yang berjudul Metodologi Studi Islam mengatakan
bahwa Metode tasawuf ada tiga yaitu: tahalli,
takhalli, dan tajalli.
1. Takhalli
Takhalli ialah membersihkan diri
dari sifat – sifat tercela, kotoran hati, ma’siat lahir dan bathin. Bagi shufi
pemula pertama- tama diharuskan membersihkan diri dan melepaskan diri dari perangai
yang tercela. Karena sifat – sifat tercelainilah pengganggu dan penghalang
utama manusia dalam berhubungan dengan Allah.
Dasar dari ajaran tasawuf tentang
tahalli adalah firman Allah:
Artinya
: “ Sesungguhnya berbahagialah orang yang mensucikan jiwanya dan sesungguhnya
merugilah orang yang mengotorinya”. (QS. As Syam : 9-10)
2. Tahalli
Setelah membersihkan diri dari
sifat – sifat tercela, maka yang harus dilakukan adalah mengisi diri dengan
sifat- sifat terpuji dan menyinari hati dengan taat lahir bathin. Nah inilah
yang disebut tahalli. Adapun sifat yang harus diisi adalah sifat Adil, belas
ksihan, beramal shaleh, berani, berbaik sangka, berjiwa bijaksana, ikhlas dan
lain sebagainya. Adapun landasan dasar dari tahalli ini adalah QS. An Nahl :
90.
3. Tajalli
Dan yang terakhir adalah tajalli
yang merupakan saat – saat merasakan
rasa Ketuhanan yang sampai mencapai kenyataan Tuhan. Untuk mencapai tajalli ini
calon shufi mengadakan latihan – latihan jiwa ( riyadloh) dengan berusaha memberihsihkan drinya dari
sifat tercela, lalu mengisi dirinya dengan sifat – sifat yang terpuji, dan
terus mengerjakan ibadah yang semata – mata untuk memperoleh tajalli, untuk
menerima pancaran Nur Allah.
Mustafa Muhammad al-Allāmah al-Manawi, Faedul Qadīr, jilid IV
(Mesir: Sanabun Maktabah, 1357 H.), h. 390.
Fazlur Rahman, Islam, (Bandung: Pustaka, 1984), h. 185.
0 komentar: